Selasa, 13 November 2012

Lansia vs Lansia

Enam tahun yang lalu, ketika pertama kali memasuki masa pensiun, saya berjumpa dengan seorang dokter yang sudah lebih dulu pensiun. Ketika itu saya sedang merevitalisasi sebuah radio siaran swasta di Madiun, dan dokter itu
salah seorang pengasuh acara yang banyak peminatnya. Saya senang berkenalan dengan dia karena saya mudah berkomunikasi, khususnya mengenai kesehatan lansia. Mengapa ? Karena saya harus mulai menerima kenyataan, saya sudah masuk ke dalam golongan lansia. Menurut dokter itu, "Anda baru saja memasuki masa awal lansia atau disebut lansia awal. Saya terkekeh.

Sekarang nyaris 7 tahun saya melewati masa lansia, dan saya menduga-duga, sekarang saya sudah berada di pertengahan periode lansia. Atau jika mengikuti terminologi dokter itu, sekarang saya sudah masuk ke masa lansia pertengahan. Saya terkekeh sendiri mengingat itu. Karena, ketika saya berada di periode pertengahan lansia, saya harus merawat dan mendampingi dua orang lansia lanjut, yaitu Ibu saya yang sekarang berusia 85 tahun, dan Ibu mertua saya yang juga berusia sekitar itu. Jadi, lansia merawat dan mendampingi lansia. Bukankah itu cukup menjadi alasan mengapa saya terkekeh sendiri ?

Lansia pertengahan menghadapi lansia lanjut, sungguh tidak mudah. Mungkin jauh lebih mudah, orang muda mendampingi lansia. Sesama lansia, pertengahan dan lanjut, sebenarnya memiliki problem yang sama. Misalnya soal mulai berkurangnya fungsi tubuh. Jika di masa muda nyaris tidak pernah merasakan sakit pinggang, sekarang sudah menjadi masalah harian. Jadi sebenarnya saya sangat maklum, jika kedua lansia lanjut yang saya dampingi itu mengeluh tidak dapat tidur, pinggang sakit atau lutut gemetar. Tetapi ada saja yang menyebabkan terjadinya salah pengertian.

Misalnya, saya bilang, "ya sudah Mbah tidak usah mengeluh, maklumi saja karena memang sudah tua". Bukannya reda keluhannya, malah berubah jadi marah sambil menjawab "aku tahu, aku sudah tua, tidak usah diomong lagi". Maka, saya pun diam. Padahal maksud saya, saya dapat memahami karena saya pun sudah tua, sudah jadi lansia juga, sehingga apa yang dirasakan oleh kedua lansia lanjut itu pun saya merasakannya. Tapi rupanya, lansia juga tidak suka disebut lansia.

Apakah persoalannya beres ? Tidak juga, karena ketika kedua lansia lanjut itu mengeluhkan hal saya, dan saya bilang "saya tahu, Mbah, karena saya juga sudah tua". Eh, malah saya dihardiknya "lha kamu anak kemarin sore, sudah loyo begitu". Astaghfirullahaladziiiiim, lahaula wala quwwata illa billahil aliyyil adhiiim. Dan sering dengan menggunakan ungkapan lokal Banyumas saya berucap "Pangeran, paringana kuwat".

Belum lagi jika mengingat pada perbedaan kepribadian dua lansia lanjut itu. Ibu saya, alhamdulillah, masih cukup cerdas, daya ingatnya masih kuat. Itulah sebabnya, dia akan selalu mengingat apa yang sudah dijanjikan kepadanya. Sementara Ibu mertua saya, lebih banyak lupanya, sehingga seringkali mengatakan sesuatu berulang-ulang. Bahkan ada kalanya dia mengatakan belum makan padahal sudah. Ini sangat menyulitkan posisi saya.

Ada lagi, yaitu soal kebiasaan. Ibu mertua saya, karena di masa lalunya adalah seorang yang cenderung pragmatis, maka dalam memutuskan sesuatu, terkesan tidak memerhatikan perasaan orang lain. Extrovert. Sementara Ibu saya cenderung introvert. Dia terlalu banyak memikirkan perasaan orang lain, dan acapkali menyakiti dirinya sendiri. Dalam selera makan pun bertolak belakang. Ibu mertua saya, nyaris tidak ada pantangan, suka makan apa saja, sedangkan Ibu saya tergolong pemilih.

Kondisi psikologis seperti itu merupakan hal tersulit. Apalagi jika sudah menyangkut soal umur. Kadang-kadang keduanya dihantui rasa takut yang sangat terhadap kematian. Sebenarnya itu wajar. Tetapi jika berlebihan tentu menjadi problem yang akut. Sayangnya, tidak mudah memberi pengertian bahwa setiap orang akan mati. Hadapi semuanya dengan ikhlas, sabar dan tawakal. Dan rasa takut mati itu menjadi satu bukti bahwa manusia ingin hidup lebih lama di dunia.

Tetapi bagaimana jika tidak mati-mati, sementara orang lain mati ? Apalagi jika kondisi fisiknya makin memburuk, hanya tergolek tak berdaya dan tak mati-mati. Pilih mana : mati atau tergolek tak berdaya dan tak bisa menikmati apa-apa lagi ?*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar